Blogger templates

Kamis, 08 Mei 2014

PAI_Keadilan, Kepemimpinan dan Kerukunan


KEADILAN, KEPEMIMPINAN DAN KERUKUNAN


Ketiga istilah diatas berkaitan satu sama lain, ia bisa berhubungan dengan politik, kemasyarakatan dan agama. Dalam hal ini, sesuai dengan pembidangan, peninjauan bahasan tentu banyak berorientasi pada agama.
1.    Masalah Keadilan
Keadilan berasal dari kata adil, dalam istilah / ta’rif bahasa Arab, “Wadh’u syai’in fi mahalliha“. Artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya. Artinya keadilan adalah suatu sikap dan tindakan proporsional. Keadilan suatu nilai yang selalu didambakan dan sekaligus diperjuangkan kehadirannya. Keadilan harus dijabarkan dalam semua keadaan. Sebab keadilan adalah kebajikan utama ummat manusia yang keberadaannya mutlak diperlukan sepanjang sejarah.
Agama Islam adalah agama yang menegakkan keadilan, keadilan yang tidak pandang bulu, siapa yang bersalah dihukum, yang berjasa diberi imbalan, tangan mencencang, bahu memikul, tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan dan seterusnya.


Masalah keadilan ini Allah berfirman dalam Al Qur’an ayat 8 surah Al-Maidah :
Artinya :  “Wahai orang-orang yang beriman ! Hendaklah kamu menjadi pembela bagi Allah, menjadi saksi dengan keadilan, janganlah kebencian kamu kepada suatu kaum menyebabkan kamu menyimpang dari keadilan, berlaku adillah kamu, itulah lebih dekat kepada taqwa, dan takutlah kamu kepada Allah, bahwasanya Allah membalasi apa-apa yang kamu perbuat“.
Dan di dalam hadits Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam : “Al-adlu hasanun walakin fil umaraa’i ahsanu, as-sakhoo’u hasanun walakin fil ghinaa’i ahsanu, al-wara’u hasanun walakin fil ‘ulamaa’i ahsanu, ash-shobru hasanun walakin fil fuqoroo’i ahsanu, at-taubatu hasanun walakin fis syababi ahsanu, al-hayaa’u hasanun walakin fin-nisaa’i ahsanu“.
Artinya : “Keadilan itu baik, tetapi lebih lagi pada para pemimpin. Kedermawanan itu baik, tetapi ia lebih baik lagi pada orang-orang kaya, wara’ itu baik, tetapi ia lebih baik lagi pada para ulama, shabar itu baik, tetapi ia lebih lagi pada orang-orang faqir. Taubat itu baik, tetapi ia lebih baik lagi pada para pemuda, malu itu baik, tetapi lebih baik lagi pada para perempuan” (HR. Dailami).
Sesuai petunjuk Al Qur’an dan Al Hadits diatas, maka keadilan hendaklah ditegakkan. Rasa keadilan adalah situasi naluriyah yang tumbuh pada diri manusia. Perjuangan menegakkan keadilan berakar pada fitrah manusia dan karenanya menjadi kepedulian setiap orang. Dari itu pula dapat dikatakan semua orbit perjuangan manusia adalah perjuangan menegakkan keadilan dan melawan kezaliman. Konsekuensinya situasi kemanusiaan tidak boleh berpihak kepada ketidakadilan. Hukuman yang keras akan ditimpakan kepada manusia yang berpihak kepada orang-orang yang dzalim.
Firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam Al Qur’an surah Hud      ayat 113 :
Artinya :  “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang dzalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain dari Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan“.
Lawan daripada keadilan adalah kezaliman. Islam memandang kedzaliman sebagai kemungkaran yang akan menghancurkan tata kehidupan. Jagat politik akan terus menerus diwarnai kesewenangan, kediktatoran dan penindasan yang diidentikkan dengan kerusakan. Kehidupan sosial diwarnai kerusakan, kekejaman dan krisis sosial.

Kita tidak boleh terjebak ke dalam bentuk tindakan kezaliman, bahkan setiap individu harus terlibat dalam merespon seruan untuk melawan kezaliman, apapun bentuknya. Legalitas perlawanan terhadap kezaliman tersebut begitu jelas dan pasti sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Afdholul jihaadi kalimatu adlin (wa fi riwayatin kalimatu haq) ‘imda sulthoonin jaairin“.
Artinya : “Seutama-utama jihad adalah mengatakan yang haq kepada penguasa yang zalim” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi dan Ibnu Majah dari Abu Said Al-Khudri Radhiallahu anhu).
Tegaknya keadilan bukan hanya untuk kepentingan generasi sekarang tetapi melainkan untuk lintas generasi. Dalam sebuah masyarakat yang menjunjung keadilan, setiap manusia dapat terbebas dari segala bentuk tirani dan akan membuahkan kesejahteraan sejati.

Di sinilah letak kepentingan membangun institusi-institusi yang adil. Secara teoritis pembangunan institusi yang adil harus dimulai dengan komitmen penerapan keadilan prosedural sebagai hasil persetujuan melalui prosedur tertentu dalam bentuk aturan, hukum atau undang-undang. Selain itu Islam memandang keadilan tidak hanya sebagai hak melainkan juga kewajiban untuk saling menopang antar individu dan sekaligus menjadi tonggak utama bangunan masyarakat, apapun agama. Keadilan menjadi tulang punggung kehidupan sosial politik. Atas dasar itu Islam memberi bekal bagi setiap individu berupa perangkat kaidah yang tidak hanya mengarahkan perilaku, yang menentukan hubungan manusia dan dapat menjamin dihormatinya HAM atas dasar keadilan, tetapi juga perangkat keadilan prosedural yang mampu mengontrol dan menghindarkan semaksimal mungkin perilaku manusia dari ketidakadilan. Sebab keadilan tidak hanya diserahkan kepada individu, melainkan juga dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum yang baik. Dengan demikian keadilan distributif, komutatif dan keadilan sosial akan terwujud.

Konsep keadilan dalam Islam dipandang lebih tinggi dan luas cakupannya daripada ide-ide dan konsep-konsep buatan manusia. Dalam Al Qur’an cakupan penggunaan kata “adl” berlaku bagi segala bentuk hubungan manusia : antar penguasa dengan rakyat, antar golongan, antar bangsa, antar orang-orang bersengketa, antara orang-orang yang melakukan perjanjian, di bidang muamalah, antara seseorang dengan kerabatnya, antara suami dengan isteri-isterinya, antara orang tua dengan anak-anaknya, dan lain sebagainya.

2.    Masalah Kepemimpinan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka “Kepemimpinan” artinya, perihal pemimpin; cara memimpin. Dalam bahasa Inggris pemimpin itu disebut leader, kegiatannya disebut kepemimpinan atau leadership. Ada lagi istilah kepemimpinan secara spiritual dan empiris. Pengertiannya, spiritual adalah kepemimpinan yang mampu mentaati pemerintah dan larangan Allah dan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dalam semua aspek kehidupan. Secara empiris kegiatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat (H. Nawawi Hadari, 2001 : 17 & 27).
Berdasarkan Al Qur’an As Sunnah sebagai rujukan utama ummat Islam telah menampilkan 5 (lima) terminologi tentang kepemimpinan, yaitu :
1.      Al-Imam (QS, 25 : 74), bentuk jamaknya adalah al-aimmah, sebagaimana disebutkan dalam hadits Shahih Bukhari Muslim. Imam artinya pemimpin yang berada di depan (amaam). Istilah ini disamping populer dipergunakan selain untuk kepemimpinan politik dan intelektual, ia juga dipakai untuk kepemimpinan dalam sholat berjama’ah.
2.   Al-Khalifah, bermakna pemimpin yang mewakili, menggantikan dan siap diganti oleh pelanjutnya (QS, 2 : 30). Karena para Khulafaur Rasyidin selain menggantikan Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam sebagai pemimpin, mereka juga melanjutkan risalah beliau, bahkan siap dan rela bila kepemimpinannya dilanjutkan oleh pemimpin-pemimpin berikutnya. Dari terminologi diatas, seorang pemimpin haruslah dalam posisi tidak melanggengkan kekuasaannya, melainkan ia selalu beraktivitas bijak termasuk mempersiapkan keberlanjutan kepemimpinannya ke generasi berikutnya.
3.      Al-Malik, artinya raja. Hanya saja Al Qur’an mengaitkan status ini dengan hakikat kerajaan sepenuhnya milik Allah saja. Sementara kekuasaan kerajaan yang diberikan kepada manusia hanyalah bersifat nisbi, yang semestinya digunakan untuk merealisir kemaslahatan kehidupan. Diantara kemaslahatan tersebut adalah memunculkan kesentausaan bagi sang Raja dan bagi rakyatnya, dengan sepenuhnya melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah. Karenanya Allah menegaskan bahwa Dia lah Raja dari para Raja. Oleh karenanya para raja di dunia ini haruslah menselaraskan diri dengan hakikat kekuasaan yang mereka miliki dan tidak melampauinya agar tidak muncul kehinaan dan kezaliman bagi kemanusiaan. Hal ini jelas diungkap dalam QS. 3 : 26.
4.      Al-Amir artinya adalah seorang pemimpin yang dapat memerintah. Ia pun berarti ism maf’ul (ojek) sehingga bermakna pemimpin yang dapat dikoreksi oleh rakyatnya atau diperintah untuk memperbaiki diri oleh rakyatnya. Seorang pemimpin dalam terminologi ini adalah seorang pemberani dan berwibawa, sehingga ia dapat efektif memerintah melalui perintahnya yang ditaati rakyat, ketika perintahnya itu benar. Ia dapat berlapang dada untuk menerima perintah dari rakyat melalui koreksinya.
5.      Ar-Ra’i artinya adalah pemimpin yang senantiasa memberikan perhatian kepada ra’iyah (rakyat) (HR. Bukhari Muslim). Dalam hadits Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam sering mengingatkan bahwa peran kepemimpinan yang selalu peduli kepada rakyatnya itu adalah di seluruh level kepemimpinan. Beliau pun mengaitkan langsung korelasi positif timbal balik antara’i dan ra’iyahnya. Keakraban semacam inilah yang bila dilakukan seorang pemimpin tentu akan menciptakan iklim kepemimpinan yang penuh empati, kepedulian dan kedekatan dengan rakyat. Oleh karenanya sang pemimpin tidak akan berlaku zalim, aniaya dan semena-mena dalam kebijakannya kepada rakyat (Dr. HM. Hidayat Nur Wahid, tt : 166).

Jika berbicara tentang kepemimpinan secara mendalam, memang banyak ragam yang harus diurai, tetapi dalam hal ini kita hanya membatasi pada macamnya pemimpin, potensi kepemimpinan, budaya menjadi pemimpin dan kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, sebagai berikut :
a.         Macamnya Pemimpin
1.      Pemimpin Formal
Pemimpin formal ini adalah orang yang secara resmi diangkat dalam jabatan kepemimpinan, teratur dalam suatu organisasi pemerintahan secara hiarki, tergambar dalam suatu gambar bagan yang tergantung di kantor-kantor kepemimpinan ini lazimnya tidak dengan sendirinya memberikan jaminan bahwa orang yang diangkat menjadi pemimin formal tersebut akan dapat diterima juga oleh anggota organisasinya sebagai pimpinan yang sesungguhnya. Hal ini masih diuji dalam praktek.
2.      Pemimpin Non Formal
Kepemimpinan ini adalah seperti dalam organisasi non pemerintah tetapi juga punya hiarki. Pengangkatannya tergantung pada musyawarah misalnya HIPMI, IWAPI dan lain sebagainya.
3.      Pimpinan Informal
Kepemimpinan ini tidak mempunyai dasar pengangkatan resmi, tidak jelas tergambar dalam hiarki. Pemimpin informal ini (informal leader) adalah seorang individu (pria atau wanita) yang walaupun tidak mendapat pengangkatan secara yuridis formal sebagai pemimpin, memiliki sejumlah kualitas (objektif dan subjektif), yang memungkinkan mencapai kedudukan sebagai orang yang dapat mempengaruhi kelakuan serta tindakan sesuatu kelompok masyarakat baik dalam arti positif maupun negatif. Dalam kalangan Islam kepemimpinan informal mendapat tempat tersendiri di hati ummat, misalnya dengan banyaknya ulama, ustadz, dan lainnya (Dra. Hj. Mahmudah, 2003 : 19).

b.        Potensi Kepemimpinan
Kepemimpinan dalam Islam adalah tanggung jawab dan pelayanan yang utuh untuk dinullah. Keberhasilan dakwah banyak bergantung banyak tumbuhnya shaf pendukung yang memiliki kejelasan dan tanggung jawab pembagian tugas dan sistem perekrutan yang baik (organisasi yang teratur), karena hal ini sangat menentukan tercapainya tujuan, sebagaimana yang dikatakan oleh Saidina Ali Karramallahu wajhah : “Al-Haqqu billa nidzom sayaglibuhul bathilu binnidzom“. Artinya : “Kebenaran yang tidak terorganisir secara rapi dapat dikalahkan oleh kebathilan yang terorganisir dengan rapi“.
Menurut  H. Agus Hidayat Nur dalam bukunya “Urgensi Tarbiyah dalam Harokah Islamiyah”, halaman 41, ada beberapa ciri yang menunjukkan kemampuan memimpin seseorang :
1)      Mampu untuk mengikat dengan pemikiran dan kepribadiannya.
2)      Kerja yang terus menerus dan berlanjut serta sabar dan tidak mudah putus asa.
3)    Lembut bukan karena lemah dan kuat bukan karena nekat / kalap serta tidak ceroboh dan mampu berbicara sesuai dengan kebutuhan.
4)      Sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagi saudaranya dan selalu memperhatikan saudaranya.
5)      Mampu mengarahkan seorang menjadi dinamis dan rukun.
6)      Mendidik, mengarahkan dan menjaga kader-kadernya dari kebinasaan.
7)   Pandai membagi waktu, waspada, cerdik (cepat dan tepat merespon setiap kejadian) serta memiliki bashirah (mata hati) dengan segala potensinya inilah seorang pemimpin dengan idzin Allah mampu membawa organisasinya melangkah benar.
Uraian diatas dapat ditarik natijahnya sebagai gambaran calon dan pemimpin yang ahli atau pemimpin yang berbudaya. Karena apa, ada juga istilah banyak orang tidak berbudaya menjadi pemimpin. Dimaksud budaya disini ialah perbuatan manusia yang didasarkan pada akhlak mulia dan ilmu pengetahuan. Bila manusia dalam berbuat dan bertindak meninggalkan akhlak dan ilmu pengetahuan, hanya karena dorongan  nafsu semata, dia dikatakan tidak lagi berbudaya. Hadist Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, yang artinya : Dari Abdullah ibn Abbas, ujarnya : Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Kalau engkau telah menyaksikan budak perempuan melahirkan anak majikannya dan orang-orang gunung yang berkaki telanjang menjadi pemimpin masyarakat, itu pertanda datangnya kiamat” (HR. Ahmad). Pada akhir riwayat Ahmad menambahkan : (Ibnu Abbas) bertanya : “Wahai Rasulullah, siapakah orang-orang gunung yang berkaki telanjang itu ?” Sabdanya : “Orang Arab (Badui)”.
Untuk bermimpi dalam jabatan tidak ada larangan tetapi alangkah baiknya, membaca lebih dahulu syarat-syarat dari Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, sebagai berikut :
1.      Pertama, jangan ambisius untuk meraih jabatan / pimpinan, apalahi dengan kepentingan nafsu (dendam), baik pribadi ataupun golongan. Sebab perilaku demikian akan menghilangkan jaminan pertolongan Allah Subhanahu Wata’ala. Nabi Besar Muhammad Shallallahu alaihi wasallam telah memberikan pandangan : “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan, sebab jika engkau diberi jabatan karena meminta, maka engkau akan ditinggalkan untuk mengurusinya sendiri. Dan jika engkau diberi jabatan itu bukan karena meminta, maka engkau akan dibantu (Allah) untuk menunaikannya” (HR. Bukhari). Memang motivasi nafsu pribadi dari calon pejabat / pimpinan, tidak ia sampaikan terus terang, sebab hal itu berarti fatal. Tetapi Rasul Allah punya alat deteksi dari pelaku calon yang datang kesana kemari mencari dukungan, mencari rekomendasi ke berbagai pihak agar terpilih. Beliau bersabda : “Barangsiapa mencari kekuasaan dan dia meminta rekomendasi / dukungan dari berbagai pihak, maka ia akan ditinggalkan untuk mengurusinya sendiri. Dan bila ia dipaksa untuk memegang jabatan itu, maka Allah akan turunkan malaikat untuk membimbingnya” (HR. Al-Bazzar). Oleh karena itu sebagai ummat Islam tidaklah sepatutnya menyerahkan amanah atau pilihannya kepada calon pejabat semacam ini. Memang belum disepakati haram, tetapi moralitas yang tinggi pasti menghadang untuk memilih dengan profil demikian.
2.      Kedua, capable (mampu). Dalam kondisi dimana seorang muslim melihat dirinya secara objektif mempunyai potensi untuk menjabat, maka boleh mengajukan diri dengan syarat betul-betul bebas dari nafsu dan demi menegakkan keadilan. Contohnya adalah apa yang dilakukan oleh Nabi Yusuf Alaihissalam dengan mengajukan diri kepada Raja Rayyan Ibn Al-Walid untuk menjadi bendahara negara, hingga dapat mendistribusikan kekayaan negara dengan adil.
Dalam sejarah kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam maka dilakukan identifikasi kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, sebagai berikut :
1)        Perwujudan Kepemimpinan Otoriter
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah pemimpin yang sangat keras dalam menghadapi orang-orang kafir dan dalam memberikan hukuman serta pelaksanaan petunjuk dan tuntunan Allah Subhanahu Wata’ala lainnya. Tidak ada yang boleh dibantah, jika telah diwahyukan Allah Subhanahu Wata’ala. Tidak dibenarkan dan tidak dibolehkan pemberian saran, pendapat, kreativitas dan inisiatif, sehingga berarti suatu perintah harus dilaksanakan dan larangan harus dijauhi / ditinggalkan. Otoriter adalah mutlak hak Allah Subhanahu Wata’ala, yang bilamana tidak diperlakukan-Nya di muka bumi ini, maka secara pasti akan dilaksanakan-Nya adalah seseorang kembali kehadirat-Nya. Tidak ada keringanan hukuman sebagai balasan bagi yang ingkar atau kufur / kafir, atau yang menduakan penciptanya melainkan neraka jahannam dengan siksa yang sangat pedih. Perbuatan yang dikatagorikan dosa tidak akan berubah katagorinya, meskipun yang menyampaikan saran perubahan atau perbaikan seorang raja, presiden, ulama atau rakyat biasa.
Oleh karena itu kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah bentuk kongkrit kepemimpinan Allah Subhanahu Wata’ala, maka otoriter yang berlaku di muka bumi ini selalu dilaksanakan sebagaimana seharusnya. Untuk itu Allah Subhanahu Wata’ala telah memberikan petunjuk dan tuntunan yang jelas, dengan menutup sama sekali pemberian saran, pendapat, inisiatif, kreativitas dan lain-lainnya.
2)        Kepemimpinan Laissez Faire
Dalam menyeru ummat manusia terlihat kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam yang bersifat Laissez Faire (bebas). Beliau tidak memaksa dengan kekerasan. Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam hanya diperintah oleh Allah Subhanahu Wata’ala untuk menyeru dan memperingatkan keberuntungan bagi yang mendengar dan kerugian bagi yang berlaku angkuh dan sombong, menolak seruan beliau. Setiap manusia diberi kebebasan untuk mengimani Kalimat Syahadat. Jika menolak beriman, Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam tidak akan memaksanya, namun tetap memperingatkan celakalah dirinya yang telah keliru memilih. Termaktub dalam firman Allah Subhanahu Wata’ala di dalam surah Al Baqarah ayat 256 :
Artinya :   “Tidak ada paksaan dalam menganut agama, sebab sudah jelas jalan benar dan jalan yang salah. Barangsiapa yang ingkar kepada Thogut, hanya percaya kepada Allah, berarti ia berpegang pada tali yang berbuhul kuat yang tidak mungkin putus. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui“.
3)        Perwujudan Kepemimpinan yang Demokratis
Prinsip-prinsip demokratis yang dibangun Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, pada masa hidup beliau selalu berhubungan dengan ummat yang dipimpinnya, terutama para shahabat sangat akrab. Oleh karenanya setiap ummat tidak dibatasi untuk berkomunikasi dengan beliau sebagai pemimpin. Diantaranya ada yang datang minta petunjuk, petuah dan nasehat, disamping itu ada juga yang bermaksud menyampaikan pendapat, masalah-masalah yang dihadapinya dan melaporkan segala sesuatu yang perlu diketahui oleh Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam.
Kepemimpinan yang demokratis dari Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam terlihat nyata dalam kehidupan beliau sehari-hari. Beliau sebagai pemimpin yang agung tidak pernah sekedar duduk di singgasana atau memisahkan diri di istana yang gemerlapan untuk menjaga wibawa. Tetapi sebaliknya wibawa yang agung justru timbul dan terpelihara karena beliau menjalani kehidupan bersama ummatnya.
Kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam yang bersifat demokratis terlihat pada kecenderungan beliau menyelenggarakan musyawarah, terutama menghadapi masalah yang belum ada wahyu dari Allah Subhanahu Wata’ala. Bersamaan dengan itu beliau menganjurkan agar ummatnya selalu bermusyawarah, yang dinyatakan agar ummat Islam tidak meninggalkan jama’ah. Dengan demikian tak seorangpun dalam mengemukakan pendapat sangat dihormati, namun setelah kesepakatan dicapai setiap anggota jama’ah wajib menghormati dan melaksanakannya. Kesediaan beliau sebagai pemimpin untuk mendengarkan pendapat, bukan saja dinyatakan dalam sebuah sabdanya, tetapi terlihat dalam praktik kepemimpinannya. Sabda Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, yang artinya : Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu anhu, Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam membagi rampasan perang di Jir’anah, tiba-tiba seorang laki-laki berkata kepada beliau : “Berlaku adillah !” Lalu beliau bersabda kepadanya : “Saya celaka, kalau saya tidak adil” (H. Nadari Nawawi, 2001 : 282-288).

3.    Masalah Kerukunan
Sebagaimana telah diketahui, penduduk Indonesia terbesar ke-4 di dunia dengan pulaunya sebanyak 17.508 dan tidak kurang 390 suku bangsa. Sejak dahulu bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang ramah, hal ini terbukti dengan mudahnya bangsa-bangsa lain untuk tinggal dan menetap serta mencari mata usaha di negeri ini. Mereka saling bekerjasama tanpa membedakan etnis, adat dan agama. Bertahun-tahun mereka hidup dalam satu lingkungan sebagai bersaudara. Mereka hidup saling tolong menolong, segala permasalahan yang terjadi diselesaikan dengan musyawarah mufakat. Dalam arti kata bahwa mereka hidup dalam kerukunan.
Di dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip. Prinsip itu terdapat di dalam Al Qur’an, antara lain :
a.         Surah Al-Baqarah ayat 256
Artinya : “Tidak ada paksaan dalam (memeluk sesuatu) agama, karena telah jelas mana yang benar dan mana yang salah“.
b.        Surah Al-Kahfi ayat 29
Artinya : “Katakanlah hai Muhammad, bahwa telah datang kebenaran dari Tuhanmu. Oleh karena itu barang siapa yang mau beriman, berimanlah dan barangsiapa yang ingin kafir, kafirlah“.
c.         Surah Yunus ayat 99
Artinya : “Dan apabila Tuhanmu menghendaki, orang yang berada di muka bumi ini beriman seluruhnya. Apakah engkau akan memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman ?“
d.        Surah Al-Mumtahanah ayat 8
Artinya : “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Dari beberapa ayat diatas dapat ditarik garis hukum, beberapa prinsip mengenai toleransi dalam ajaran Islam. Prinsip-prinsip itu antara lain :
1.      Tidak boleh ada paksaan dalam beragama, baik paksaan itu bersifat halus atau kasar.
2.      Manusia berhak menentukan pilihan agama yang dianutnya dan beribadat menurut keyakinannya.
3.        Tidak ada gunanya memaksa seseorang agar ia menjadi seorang muslim.
4.   Allah tidak melarang hidup bermasyarakat dengan mereka yang tidak sepaham atau tidak seagama, asal mereka itu tidak memusuhi umat Islam.
Dari uraian diatas sangat jelas bahwa Islam tidak memaksakan kehendak dalam hal keyakinan, artinya Islam dan ummatnya sangat toleran dengan penganut agama lain. Disamping ayat-ayat Al Qur’an diatas ada lagi satu surah yang menjadi pegangan / panduan ummat Islam tentang perbedaan agama ini. Toleransi agama adalah toleransi yang menyangkut masalah akidah. Dalam ajaran Islam kemurnian akidah harus dijaga. Oleh karenanya ada pendapat mengatakan, tidak ada toleransi dalam akidah. Akidah tidak bisa dicampur adukkan atau dibaurkan. Al Qur’an yang berbicara masalah ini adalah tersebut dalam surah Al-Kafirun ayat 1-6 :
Artinya :  “Katakanlah, hai kaum kafir. Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Dan tidak (pula) kamu menyembah apa yang aku sembah. Aku bukan penyembah sebagaimana (cara) kamu menyembah. Dan kamu (juga) bukan penyembah sebagaimana (cara) aku menyembah. Untuk kamulah agama kamu dan untukkulah agamaku” (QS. Al-Kafirun ayat 1 – 6).
Jadi toleransi agama menurut ajaran Islam adalah sikap lapang dada untuk membiarkan bagi pemeluk agama lain dalam menjalankan menurut ketentuan agama yang diyakininya.
Jika maksud toleransi ini dijalankan dengan benar akan terwujudlah kerukunan antar ummat beragama. Adapun kerukunan intern ummat beragama, khususnya ummat Islam misalnya. Karena ummat Islam ini secara organisatoris, banyak sekali organisasinya, seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persis, Al-Irsyad, Mathlaul Anwar, Jami’atul Washliyah, Hidayatullah, Hizbut Tahrir, Perti dan lain-lainnya. Maka kerukunan ini harus dibina melalui forum / kegiatan ukhuwah Islamiyah dan ditingkatkan dengan ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah  basyariah.

Disamping itu secara individu, maupun secara organisatoris janganlah mengungkap masalah khilafiah, karena masalah ini cukup peka / sensitif. Hal-hal lain yang tak kalah pentingnya melaksanakan rukun ukhuwah, yaitu :
1.    Saling kenal mengenal satu sama lain (ta’aruf)
2.    Saling menghargai dan menenggang (tasamuh)
3.    Saling tolong menolong (ta’awun)
4.    Saling mendukung (tadlamun)
5.    Saling sayang menyayangi (tarahum)
Hal-hal yang seyogiayanya harus dihindari adalah :
1.    Saling menghina dan saling mencela (assakhriyah dan allamzu)
2.    Berburuk sangka (su’udzzdon)
3.    Suka mencemarkan nama baik (ghibah)
4.    Sikap curiga yang berlebihan (tajassus)
5.    Sikap congkak (takabur)
Demikianlah masalah kerukunan dan kedamaian hidup dalam berbangsa dan bernegara, damai itu indah. Kita lelah sudah bertikai, akar permasalahannya pun harus kita kunci, salah satu kuncinya ialah adanya program pemerintah yang disebut dengan Tri Kerukunan.





Sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar