KEADILAN, KEPEMIMPINAN DAN KERUKUNAN
Ketiga
istilah diatas berkaitan satu sama lain, ia bisa berhubungan dengan politik, kemasyarakatan
dan agama. Dalam hal ini, sesuai dengan pembidangan, peninjauan bahasan tentu
banyak berorientasi pada agama.
1.
Masalah Keadilan
Keadilan
berasal dari kata adil, dalam istilah / ta’rif bahasa Arab, “Wadh’u syai’in fi
mahalliha“. Artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya. Artinya keadilan adalah
suatu sikap dan tindakan proporsional. Keadilan suatu nilai yang selalu
didambakan dan sekaligus diperjuangkan kehadirannya. Keadilan harus dijabarkan
dalam semua keadaan. Sebab keadilan adalah kebajikan utama ummat manusia yang
keberadaannya mutlak diperlukan sepanjang sejarah.
Agama
Islam adalah agama yang menegakkan keadilan, keadilan yang tidak pandang bulu,
siapa yang bersalah dihukum, yang berjasa diberi imbalan, tangan mencencang,
bahu memikul, tiba di mata tidak dipicingkan, tiba di perut tidak dikempiskan
dan seterusnya.
Masalah
keadilan ini Allah berfirman dalam Al Qur’an ayat 8 surah Al-Maidah :
Artinya
: “Wahai orang-orang yang beriman ! Hendaklah kamu menjadi pembela bagi
Allah, menjadi saksi dengan keadilan, janganlah kebencian kamu kepada suatu
kaum menyebabkan kamu menyimpang dari keadilan, berlaku adillah kamu, itulah
lebih dekat kepada taqwa, dan takutlah kamu kepada Allah, bahwasanya Allah
membalasi apa-apa yang kamu perbuat“.
Dan
di dalam hadits Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam : “Al-adlu hasanun
walakin fil umaraa’i ahsanu, as-sakhoo’u hasanun walakin fil ghinaa’i ahsanu,
al-wara’u hasanun walakin fil ‘ulamaa’i ahsanu, ash-shobru hasanun walakin fil
fuqoroo’i ahsanu, at-taubatu hasanun walakin fis syababi ahsanu, al-hayaa’u
hasanun walakin fin-nisaa’i ahsanu“.
Artinya
: “Keadilan itu baik, tetapi lebih lagi pada para pemimpin. Kedermawanan itu
baik, tetapi ia lebih baik lagi pada orang-orang kaya, wara’ itu baik, tetapi
ia lebih baik lagi pada para ulama, shabar itu baik, tetapi ia lebih lagi pada
orang-orang faqir. Taubat itu baik, tetapi ia lebih baik lagi pada para pemuda,
malu itu baik, tetapi lebih baik lagi pada para perempuan” (HR. Dailami).
Sesuai
petunjuk Al Qur’an dan Al Hadits diatas, maka keadilan hendaklah ditegakkan.
Rasa keadilan adalah situasi naluriyah yang tumbuh pada diri manusia.
Perjuangan menegakkan keadilan berakar pada fitrah manusia dan karenanya
menjadi kepedulian setiap orang. Dari itu pula dapat dikatakan semua orbit
perjuangan manusia adalah perjuangan menegakkan keadilan dan melawan kezaliman.
Konsekuensinya situasi kemanusiaan tidak boleh berpihak kepada ketidakadilan.
Hukuman yang keras akan ditimpakan kepada manusia yang berpihak kepada
orang-orang yang dzalim.
Firman
Allah Subhanahu Wata’ala dalam Al Qur’an surah
Hud ayat 113 :
Artinya
: “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang dzalim yang menyebabkan
kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong
pun selain dari Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan“.
Lawan
daripada keadilan adalah kezaliman. Islam memandang kedzaliman sebagai
kemungkaran yang akan menghancurkan tata kehidupan. Jagat politik akan terus
menerus diwarnai kesewenangan, kediktatoran dan penindasan yang diidentikkan
dengan kerusakan. Kehidupan sosial diwarnai kerusakan, kekejaman dan krisis
sosial.
Kita
tidak boleh terjebak ke dalam bentuk tindakan kezaliman, bahkan setiap individu
harus terlibat dalam merespon seruan untuk melawan kezaliman, apapun bentuknya.
Legalitas perlawanan terhadap kezaliman tersebut begitu jelas dan pasti
sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Afdholul
jihaadi kalimatu adlin (wa fi riwayatin kalimatu haq) ‘imda sulthoonin
jaairin“.
Artinya
: “Seutama-utama jihad adalah mengatakan yang haq kepada penguasa yang zalim”
(HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi dan Ibnu Majah dari Abu Said Al-Khudri
Radhiallahu anhu).
Tegaknya
keadilan bukan hanya untuk kepentingan generasi sekarang tetapi melainkan untuk
lintas generasi. Dalam sebuah masyarakat yang menjunjung keadilan, setiap
manusia dapat terbebas dari segala bentuk tirani dan akan membuahkan kesejahteraan
sejati.
Di
sinilah letak kepentingan membangun institusi-institusi yang adil. Secara
teoritis pembangunan institusi yang adil harus dimulai dengan komitmen
penerapan keadilan prosedural sebagai hasil persetujuan melalui prosedur
tertentu dalam bentuk aturan, hukum atau undang-undang. Selain itu Islam
memandang keadilan tidak hanya sebagai hak melainkan juga kewajiban untuk
saling menopang antar individu dan sekaligus menjadi tonggak utama bangunan
masyarakat, apapun agama. Keadilan menjadi tulang punggung kehidupan sosial
politik. Atas dasar itu Islam memberi bekal bagi setiap individu berupa
perangkat kaidah yang tidak hanya mengarahkan perilaku, yang menentukan
hubungan manusia dan dapat menjamin dihormatinya HAM atas dasar keadilan,
tetapi juga perangkat keadilan prosedural yang mampu mengontrol dan
menghindarkan semaksimal mungkin perilaku manusia dari ketidakadilan. Sebab
keadilan tidak hanya diserahkan kepada individu, melainkan juga dipercayakan
kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum yang baik. Dengan
demikian keadilan distributif, komutatif dan keadilan sosial akan terwujud.
Konsep
keadilan dalam Islam dipandang lebih tinggi dan luas cakupannya daripada
ide-ide dan konsep-konsep buatan manusia. Dalam Al Qur’an cakupan penggunaan
kata “adl” berlaku bagi segala bentuk hubungan manusia : antar penguasa dengan
rakyat, antar golongan, antar bangsa, antar orang-orang bersengketa, antara
orang-orang yang melakukan perjanjian, di bidang muamalah, antara seseorang
dengan kerabatnya, antara suami dengan isteri-isterinya, antara orang tua
dengan anak-anaknya, dan lain sebagainya.
2.
Masalah Kepemimpinan
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka “Kepemimpinan” artinya,
perihal pemimpin; cara memimpin. Dalam bahasa Inggris pemimpin itu disebut
leader, kegiatannya disebut kepemimpinan atau leadership. Ada lagi istilah
kepemimpinan secara spiritual dan empiris. Pengertiannya, spiritual adalah
kepemimpinan yang mampu mentaati pemerintah dan larangan Allah dan Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam dalam semua aspek kehidupan. Secara empiris kegiatan manusia
dalam kehidupan bermasyarakat (H. Nawawi Hadari, 2001 : 17 & 27).
Berdasarkan
Al Qur’an As Sunnah sebagai rujukan utama ummat Islam telah menampilkan 5
(lima) terminologi tentang kepemimpinan, yaitu :
1. Al-Imam
(QS, 25 : 74), bentuk jamaknya adalah al-aimmah, sebagaimana disebutkan dalam
hadits Shahih Bukhari Muslim. Imam artinya pemimpin yang berada di depan
(amaam). Istilah ini disamping populer dipergunakan selain untuk kepemimpinan
politik dan intelektual, ia juga dipakai untuk kepemimpinan dalam sholat
berjama’ah.
2. Al-Khalifah,
bermakna pemimpin yang mewakili, menggantikan dan siap diganti oleh pelanjutnya
(QS, 2 : 30). Karena para Khulafaur Rasyidin selain menggantikan Rasul Allah
Shallallahu alaihi wasallam sebagai pemimpin, mereka juga melanjutkan risalah
beliau, bahkan siap dan rela bila kepemimpinannya dilanjutkan oleh
pemimpin-pemimpin berikutnya. Dari terminologi diatas, seorang pemimpin
haruslah dalam posisi tidak melanggengkan kekuasaannya, melainkan ia selalu
beraktivitas bijak termasuk mempersiapkan keberlanjutan kepemimpinannya ke
generasi berikutnya.
3. Al-Malik,
artinya raja. Hanya saja Al Qur’an mengaitkan status ini dengan hakikat kerajaan
sepenuhnya milik Allah saja. Sementara kekuasaan kerajaan yang diberikan kepada
manusia hanyalah bersifat nisbi, yang semestinya digunakan untuk merealisir
kemaslahatan kehidupan. Diantara kemaslahatan tersebut adalah memunculkan
kesentausaan bagi sang Raja dan bagi rakyatnya, dengan sepenuhnya melaksanakan
ketentuan-ketentuan Allah. Karenanya Allah menegaskan bahwa Dia lah Raja dari
para Raja. Oleh karenanya para raja di dunia ini haruslah menselaraskan diri
dengan hakikat kekuasaan yang mereka miliki dan tidak melampauinya agar tidak
muncul kehinaan dan kezaliman bagi kemanusiaan. Hal ini jelas diungkap dalam
QS. 3 : 26.
4. Al-Amir
artinya adalah seorang pemimpin yang dapat memerintah. Ia pun berarti ism
maf’ul (ojek) sehingga bermakna pemimpin yang dapat dikoreksi oleh rakyatnya
atau diperintah untuk memperbaiki diri oleh rakyatnya. Seorang pemimpin dalam
terminologi ini adalah seorang pemberani dan berwibawa, sehingga ia dapat
efektif memerintah melalui perintahnya yang ditaati rakyat, ketika perintahnya
itu benar. Ia dapat berlapang dada untuk menerima perintah dari rakyat melalui
koreksinya.
5. Ar-Ra’i
artinya adalah pemimpin yang senantiasa memberikan perhatian kepada ra’iyah
(rakyat) (HR. Bukhari Muslim). Dalam hadits Rasul Allah Shallallahu alaihi
wasallam sering mengingatkan bahwa peran kepemimpinan yang selalu peduli kepada
rakyatnya itu adalah di seluruh level kepemimpinan. Beliau pun mengaitkan
langsung korelasi positif timbal balik antara’i dan ra’iyahnya. Keakraban
semacam inilah yang bila dilakukan seorang pemimpin tentu akan menciptakan
iklim kepemimpinan yang penuh empati, kepedulian dan kedekatan dengan rakyat.
Oleh karenanya sang pemimpin tidak akan berlaku zalim, aniaya dan semena-mena
dalam kebijakannya kepada rakyat (Dr. HM. Hidayat Nur Wahid, tt : 166).
Jika
berbicara tentang kepemimpinan secara mendalam, memang banyak ragam yang harus
diurai, tetapi dalam hal ini kita hanya membatasi pada macamnya pemimpin,
potensi kepemimpinan, budaya menjadi pemimpin dan kepemimpinan Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam, sebagai berikut :
a.
Macamnya Pemimpin
1. Pemimpin
Formal
Pemimpin
formal ini adalah orang yang secara resmi diangkat dalam jabatan kepemimpinan,
teratur dalam suatu organisasi pemerintahan secara hiarki, tergambar dalam
suatu gambar bagan yang tergantung di kantor-kantor kepemimpinan ini lazimnya
tidak dengan sendirinya memberikan jaminan bahwa orang yang diangkat menjadi
pemimin formal tersebut akan dapat diterima juga oleh anggota organisasinya
sebagai pimpinan yang sesungguhnya. Hal ini masih diuji dalam praktek.
2. Pemimpin
Non Formal
Kepemimpinan
ini adalah seperti dalam organisasi non pemerintah tetapi juga punya hiarki.
Pengangkatannya tergantung pada musyawarah misalnya HIPMI, IWAPI dan lain
sebagainya.
3. Pimpinan
Informal
Kepemimpinan
ini tidak mempunyai dasar pengangkatan resmi, tidak jelas tergambar dalam
hiarki. Pemimpin informal ini (informal leader) adalah seorang individu (pria
atau wanita) yang walaupun tidak mendapat pengangkatan secara yuridis formal
sebagai pemimpin, memiliki sejumlah kualitas (objektif dan subjektif), yang
memungkinkan mencapai kedudukan sebagai orang yang dapat mempengaruhi kelakuan
serta tindakan sesuatu kelompok masyarakat baik dalam arti positif maupun
negatif. Dalam kalangan Islam kepemimpinan informal mendapat tempat tersendiri
di hati ummat, misalnya dengan banyaknya ulama, ustadz, dan lainnya (Dra. Hj.
Mahmudah, 2003 : 19).
b.
Potensi Kepemimpinan
Kepemimpinan
dalam Islam adalah tanggung jawab dan pelayanan yang utuh untuk dinullah.
Keberhasilan dakwah banyak bergantung banyak tumbuhnya shaf pendukung yang
memiliki kejelasan dan tanggung jawab pembagian tugas dan sistem perekrutan
yang baik (organisasi yang teratur), karena hal ini sangat menentukan
tercapainya tujuan, sebagaimana yang dikatakan oleh Saidina Ali Karramallahu
wajhah : “Al-Haqqu billa nidzom sayaglibuhul bathilu binnidzom“. Artinya :
“Kebenaran yang tidak terorganisir secara rapi dapat dikalahkan oleh kebathilan
yang terorganisir dengan rapi“.
Menurut
H. Agus Hidayat Nur dalam bukunya “Urgensi Tarbiyah dalam Harokah Islamiyah”,
halaman 41, ada beberapa ciri yang menunjukkan kemampuan memimpin seseorang :
1) Mampu
untuk mengikat dengan pemikiran dan kepribadiannya.
2) Kerja
yang terus menerus dan berlanjut serta sabar dan tidak mudah putus asa.
3) Lembut
bukan karena lemah dan kuat bukan karena nekat / kalap serta tidak ceroboh dan
mampu berbicara sesuai dengan kebutuhan.
4) Sangat
menginginkan keimanan dan keselamatan bagi saudaranya dan selalu memperhatikan
saudaranya.
5) Mampu
mengarahkan seorang menjadi dinamis dan rukun.
6) Mendidik,
mengarahkan dan menjaga kader-kadernya dari kebinasaan.
7) Pandai
membagi waktu, waspada, cerdik (cepat dan tepat merespon setiap kejadian) serta
memiliki bashirah (mata hati) dengan segala potensinya inilah seorang pemimpin
dengan idzin Allah mampu membawa organisasinya melangkah benar.
Uraian
diatas dapat ditarik natijahnya sebagai gambaran calon dan pemimpin yang ahli
atau pemimpin yang berbudaya. Karena apa, ada juga istilah banyak orang tidak
berbudaya menjadi pemimpin. Dimaksud budaya disini ialah perbuatan manusia yang
didasarkan pada akhlak mulia dan ilmu pengetahuan. Bila manusia dalam berbuat
dan bertindak meninggalkan akhlak dan ilmu pengetahuan, hanya karena
dorongan nafsu semata, dia dikatakan tidak lagi berbudaya. Hadist Rasul
Allah Shallallahu alaihi wasallam, yang artinya : Dari Abdullah ibn Abbas,
ujarnya : Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Kalau engkau telah
menyaksikan budak perempuan melahirkan anak majikannya dan orang-orang gunung
yang berkaki telanjang menjadi pemimpin masyarakat, itu pertanda datangnya
kiamat” (HR. Ahmad). Pada akhir riwayat Ahmad menambahkan : (Ibnu Abbas)
bertanya : “Wahai Rasulullah, siapakah orang-orang gunung yang berkaki
telanjang itu ?” Sabdanya : “Orang Arab (Badui)”.
Untuk
bermimpi dalam jabatan tidak ada larangan tetapi alangkah baiknya, membaca
lebih dahulu syarat-syarat dari Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam,
sebagai berikut :
1. Pertama,
jangan ambisius untuk meraih jabatan / pimpinan, apalahi dengan kepentingan
nafsu (dendam), baik pribadi ataupun golongan. Sebab perilaku demikian akan
menghilangkan jaminan pertolongan Allah Subhanahu Wata’ala. Nabi Besar Muhammad
Shallallahu alaihi wasallam telah memberikan pandangan : “Wahai Abdurrahman bin
Samurah, janganlah engkau meminta jabatan, sebab jika engkau diberi jabatan
karena meminta, maka engkau akan ditinggalkan untuk mengurusinya sendiri. Dan
jika engkau diberi jabatan itu bukan karena meminta, maka engkau akan dibantu
(Allah) untuk menunaikannya” (HR. Bukhari). Memang motivasi nafsu pribadi dari
calon pejabat / pimpinan, tidak ia sampaikan terus terang, sebab hal itu
berarti fatal. Tetapi Rasul Allah punya alat deteksi dari pelaku calon yang
datang kesana kemari mencari dukungan, mencari rekomendasi ke berbagai pihak
agar terpilih. Beliau bersabda : “Barangsiapa mencari kekuasaan dan dia meminta
rekomendasi / dukungan dari berbagai pihak, maka ia akan ditinggalkan untuk
mengurusinya sendiri. Dan bila ia dipaksa untuk memegang jabatan itu, maka
Allah akan turunkan malaikat untuk membimbingnya” (HR. Al-Bazzar). Oleh karena
itu sebagai ummat Islam tidaklah sepatutnya menyerahkan amanah atau pilihannya
kepada calon pejabat semacam ini. Memang belum disepakati haram, tetapi
moralitas yang tinggi pasti menghadang untuk memilih dengan profil demikian.
2. Kedua,
capable (mampu). Dalam kondisi dimana seorang muslim melihat dirinya secara
objektif mempunyai potensi untuk menjabat, maka boleh mengajukan diri dengan
syarat betul-betul bebas dari nafsu dan demi menegakkan keadilan. Contohnya
adalah apa yang dilakukan oleh Nabi Yusuf Alaihissalam dengan mengajukan diri kepada
Raja Rayyan Ibn Al-Walid untuk menjadi bendahara negara, hingga dapat
mendistribusikan kekayaan negara dengan adil.
Dalam
sejarah kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam maka dilakukan
identifikasi kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, sebagai
berikut :
1)
Perwujudan Kepemimpinan Otoriter
Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam adalah pemimpin yang sangat keras dalam menghadapi
orang-orang kafir dan dalam memberikan hukuman serta pelaksanaan petunjuk dan
tuntunan Allah Subhanahu Wata’ala lainnya. Tidak ada yang boleh dibantah, jika
telah diwahyukan Allah Subhanahu Wata’ala. Tidak dibenarkan dan tidak
dibolehkan pemberian saran, pendapat, kreativitas dan inisiatif, sehingga
berarti suatu perintah harus dilaksanakan dan larangan harus dijauhi /
ditinggalkan. Otoriter adalah mutlak hak Allah Subhanahu Wata’ala, yang
bilamana tidak diperlakukan-Nya di muka bumi ini, maka secara pasti akan
dilaksanakan-Nya adalah seseorang kembali kehadirat-Nya. Tidak ada keringanan
hukuman sebagai balasan bagi yang ingkar atau kufur / kafir, atau yang
menduakan penciptanya melainkan neraka jahannam dengan siksa yang sangat pedih.
Perbuatan yang dikatagorikan dosa tidak akan berubah katagorinya, meskipun yang
menyampaikan saran perubahan atau perbaikan seorang raja, presiden, ulama atau
rakyat biasa.
Oleh
karena itu kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah bentuk
kongkrit kepemimpinan Allah Subhanahu Wata’ala, maka otoriter yang berlaku di
muka bumi ini selalu dilaksanakan sebagaimana seharusnya. Untuk itu Allah
Subhanahu Wata’ala telah memberikan petunjuk dan tuntunan yang jelas, dengan
menutup sama sekali pemberian saran, pendapat, inisiatif, kreativitas dan
lain-lainnya.
2)
Kepemimpinan Laissez Faire
Dalam
menyeru ummat manusia terlihat kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi
wasallam yang bersifat Laissez Faire (bebas). Beliau tidak memaksa dengan
kekerasan. Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam hanya diperintah oleh Allah
Subhanahu Wata’ala untuk menyeru dan memperingatkan keberuntungan bagi yang
mendengar dan kerugian bagi yang berlaku angkuh dan sombong, menolak seruan
beliau. Setiap manusia diberi kebebasan untuk mengimani Kalimat Syahadat. Jika
menolak beriman, Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam tidak akan memaksanya,
namun tetap memperingatkan celakalah dirinya yang telah keliru memilih.
Termaktub dalam firman Allah Subhanahu Wata’ala di dalam surah Al Baqarah ayat
256 :
Artinya
: “Tidak ada paksaan dalam menganut agama, sebab sudah jelas jalan
benar dan jalan yang salah. Barangsiapa yang ingkar kepada Thogut, hanya
percaya kepada Allah, berarti ia berpegang pada tali yang berbuhul kuat yang
tidak mungkin putus. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui“.
3)
Perwujudan Kepemimpinan yang Demokratis
Prinsip-prinsip
demokratis yang dibangun Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, pada masa
hidup beliau selalu berhubungan dengan ummat yang dipimpinnya, terutama para
shahabat sangat akrab. Oleh karenanya setiap ummat tidak dibatasi untuk berkomunikasi
dengan beliau sebagai pemimpin. Diantaranya ada yang datang minta petunjuk,
petuah dan nasehat, disamping itu ada juga yang bermaksud menyampaikan
pendapat, masalah-masalah yang dihadapinya dan melaporkan segala sesuatu yang
perlu diketahui oleh Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam.
Kepemimpinan
yang demokratis dari Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam terlihat nyata
dalam kehidupan beliau sehari-hari. Beliau sebagai pemimpin yang agung tidak pernah
sekedar duduk di singgasana atau memisahkan diri di istana yang gemerlapan
untuk menjaga wibawa. Tetapi sebaliknya wibawa yang agung justru timbul dan
terpelihara karena beliau menjalani kehidupan bersama ummatnya.
Kepemimpinan
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam yang bersifat demokratis terlihat pada
kecenderungan beliau menyelenggarakan musyawarah, terutama menghadapi masalah
yang belum ada wahyu dari Allah Subhanahu Wata’ala. Bersamaan dengan itu beliau
menganjurkan agar ummatnya selalu bermusyawarah, yang dinyatakan agar ummat
Islam tidak meninggalkan jama’ah. Dengan demikian tak seorangpun dalam
mengemukakan pendapat sangat dihormati, namun setelah kesepakatan dicapai
setiap anggota jama’ah wajib menghormati dan melaksanakannya. Kesediaan beliau
sebagai pemimpin untuk mendengarkan pendapat, bukan saja dinyatakan dalam
sebuah sabdanya, tetapi terlihat dalam praktik kepemimpinannya. Sabda Rasul
Allah Shallallahu alaihi wasallam, yang artinya : Dari Jabir bin Abdullah
Radhiallahu anhu, Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam membagi rampasan
perang di Jir’anah, tiba-tiba seorang laki-laki berkata kepada beliau :
“Berlaku adillah !” Lalu beliau bersabda kepadanya : “Saya celaka, kalau saya
tidak adil” (H. Nadari Nawawi, 2001 : 282-288).
3.
Masalah Kerukunan
Sebagaimana
telah diketahui, penduduk Indonesia terbesar ke-4 di dunia dengan pulaunya
sebanyak 17.508 dan tidak kurang 390 suku bangsa. Sejak dahulu bangsa Indonesia
terkenal sebagai bangsa yang ramah, hal ini terbukti dengan mudahnya bangsa-bangsa
lain untuk tinggal dan menetap serta mencari mata usaha di negeri ini. Mereka
saling bekerjasama tanpa membedakan etnis, adat dan agama. Bertahun-tahun
mereka hidup dalam satu lingkungan sebagai bersaudara. Mereka hidup saling
tolong menolong, segala permasalahan yang terjadi diselesaikan dengan
musyawarah mufakat. Dalam arti kata bahwa mereka hidup dalam kerukunan.
Di
dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip. Prinsip itu terdapat di dalam Al
Qur’an, antara lain :
a.
Surah Al-Baqarah ayat 256
Artinya
: “Tidak ada paksaan dalam (memeluk sesuatu) agama, karena telah jelas mana
yang benar dan mana yang salah“.
b.
Surah Al-Kahfi ayat 29
Artinya
: “Katakanlah hai Muhammad, bahwa telah datang kebenaran dari Tuhanmu. Oleh
karena itu barang siapa yang mau beriman, berimanlah dan barangsiapa yang ingin
kafir, kafirlah“.
c.
Surah Yunus ayat 99
Artinya
: “Dan apabila Tuhanmu menghendaki, orang yang berada di muka bumi ini beriman
seluruhnya. Apakah engkau akan memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman ?“
d.
Surah Al-Mumtahanah ayat 8
Artinya
: “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu
dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Dari
beberapa ayat diatas dapat ditarik garis hukum, beberapa prinsip mengenai
toleransi dalam ajaran Islam. Prinsip-prinsip itu antara lain :
1. Tidak boleh ada paksaan dalam beragama,
baik paksaan itu bersifat halus atau kasar.
2. Manusia berhak menentukan pilihan agama
yang dianutnya dan beribadat menurut keyakinannya.
3.
Tidak ada gunanya memaksa seseorang agar
ia menjadi seorang muslim.
4. Allah tidak melarang hidup bermasyarakat
dengan mereka yang tidak sepaham atau tidak seagama, asal mereka itu tidak
memusuhi umat Islam.
Dari
uraian diatas sangat jelas bahwa Islam tidak memaksakan kehendak dalam hal
keyakinan, artinya Islam dan ummatnya sangat toleran dengan penganut agama
lain. Disamping ayat-ayat Al Qur’an diatas ada lagi satu surah yang menjadi
pegangan / panduan ummat Islam tentang perbedaan agama ini. Toleransi agama
adalah toleransi yang menyangkut masalah akidah. Dalam ajaran Islam kemurnian
akidah harus dijaga. Oleh karenanya ada pendapat mengatakan, tidak ada
toleransi dalam akidah. Akidah tidak bisa dicampur adukkan atau dibaurkan. Al
Qur’an yang berbicara masalah ini adalah tersebut dalam surah Al-Kafirun ayat
1-6 :
Artinya
: “Katakanlah, hai kaum kafir. Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah.
Dan tidak (pula) kamu menyembah apa yang aku sembah. Aku bukan penyembah
sebagaimana (cara) kamu menyembah. Dan kamu (juga) bukan penyembah sebagaimana
(cara) aku menyembah. Untuk kamulah agama kamu dan untukkulah agamaku” (QS.
Al-Kafirun ayat 1 – 6).
Jadi
toleransi agama menurut ajaran Islam adalah sikap lapang dada untuk membiarkan
bagi pemeluk agama lain dalam menjalankan menurut ketentuan agama yang
diyakininya.
Jika
maksud toleransi ini dijalankan dengan benar akan terwujudlah kerukunan antar
ummat beragama. Adapun kerukunan intern ummat beragama, khususnya ummat Islam
misalnya. Karena ummat Islam ini secara organisatoris, banyak sekali
organisasinya, seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persis, Al-Irsyad,
Mathlaul Anwar, Jami’atul Washliyah, Hidayatullah, Hizbut Tahrir, Perti dan
lain-lainnya. Maka kerukunan ini harus dibina melalui forum / kegiatan ukhuwah
Islamiyah dan ditingkatkan dengan ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah
basyariah.
Disamping
itu secara individu, maupun secara organisatoris janganlah mengungkap masalah
khilafiah, karena masalah ini cukup peka / sensitif. Hal-hal lain yang tak
kalah pentingnya melaksanakan rukun ukhuwah, yaitu :
1.
Saling kenal mengenal satu sama lain (ta’aruf)
2.
Saling menghargai dan menenggang (tasamuh)
3.
Saling tolong menolong (ta’awun)
4.
Saling mendukung (tadlamun)
5.
Saling sayang menyayangi (tarahum)
Hal-hal
yang seyogiayanya harus dihindari adalah :
1.
Saling menghina dan saling mencela (assakhriyah dan allamzu)
2.
Berburuk sangka (su’udzzdon)
3.
Suka mencemarkan nama baik (ghibah)
4.
Sikap curiga yang berlebihan (tajassus)
5.
Sikap congkak (takabur)
Demikianlah
masalah kerukunan dan kedamaian hidup dalam berbangsa dan bernegara, damai itu
indah. Kita lelah sudah bertikai, akar permasalahannya pun harus kita kunci,
salah satu kuncinya ialah adanya program pemerintah yang disebut dengan Tri
Kerukunan.
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar